Raden Mattaher jadi figur kebanggaan dari Propinsi Jambi yang sudah diputuskan selaku pahlawan nasional. Figur panglima perang itu, dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden Joko Widodo, yang bersamaan dengan Hari Pahlawan pada 10 November 2020.
Kepala Dinas Sosial Propinsi Jambi Arief Munandar, menjelaskan, gelar pahlawan nasional untuk Raden Mattaher diberikan oleh Presiden Joko Widodo ke pewarisnya, Ratumas Siti Aminah Ningrat. Penyerahan gelar nasional ini ditemani dari Pemprov Jambi.
Pengusulan serta pengkajian berkenaan Raden Mattaher selaku pahlawan nasional telah dikerjakan seringkali. Beberapa ketentuan sudah disanggupi, yaitu dimulai dari buku, analisis akademik, data autentik, pembangunan panitia karunia dari kabupaten/kota s/d barisan dialog terpumpun.
“Kebanggan buat Jambi, tahun ini Raden Mattaher diputuskan selaku pahlawan nasional. Di Jambi saat ini ada dua figur yang dianggap pahlawan nasional, yaitu Sultan Thaha Saifuddin serta yang ke-2 Raden Mattaher,” kata Arief Munandar, Senin (9/11/2020).
Periset Riwayat dari Balai Konservasi Nilai Budaya (BPNB) Kepulauan Riau, Dedi Arman menulis, Raden Mattaher ialah masih turunan dari Sultan Thaha Saifuddin. Hubungan, yaitu ayah Raden Mattaher namanya Pangeran Kusin adalah anak Pangeran Adi, saudara kandungan Sultan Taha Saifuddin.
Dedi Arman dalam bukunya Raden Mattaher: Pejuang Rakyat Jambi Menantang Penjajahan mengatakan, Raden Mattaher lahir di tahun 1871. Ia lahir dari pasangan yang berkuasa di Sikamis (saat ini Dusun Kasang Melintang), Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi.
Ayah Raden Mattaher ialah Raden Kusin bertitel Pangeran Jayoningrat bin Pangeran Adi bin Sultan Mochammad Fachruddin.
Sedang ibunya, ialah Ratumas Esa (Tija). Ibu Raden Mattaher adalah kelahiran Mentawak, Air Hitam Pauh. Dulunya, wilayah itu ialah tempat berkuasanya Tumenggung Merah Mato.
Nama Raden Mattaher sampai saat ini telah kenal di telinga warga Jambi. Selaku panglima perang, Raden Mattaher memiliki peranan yang sentra dalam menumpas penjajah Belanda pada periode penjajahan di daerah Jambi.
Perlawanan Raden Mattaher pertamanya kali berkobar di Kumpeh. Perang Kumpeh ialah perlawanan terlama pada Belanda, masa waktunya di antara 1890 sampai 1906.
Raden Mattaher, kata Dedi Arman, kuasai perang gerilya serta pertarungan maritim. Seluruh peperangan di sejauh Sungai Batanghari membuat Belanda kalah tidak berdaya.
Figur dengan segudang strategi gerilya, Raden Mattaher sanggup mendobrak serdadu Belanda. Oleh prajurit serta penduduknya pada periode itu, dia mendapatkan gelar “Singo Kumpeh”.
Panggilan itu diberi sebab keberingasannya seperti singa dalam menumpas penjajah. Sampai saat ini panggilan “Singo Kumpeh” itu juga masih menempel pada figur panglima perang itu.
Masih menurut Dedi Arman, Raden Mattaher ialah seorang panglima perang Jambi yang paling populer serta ditakutkan Belanda. Ia sudah menunjukkan selaku seorang kesatria, berani, pintar, serta pintar mengendalikan taktik.
“Pasukan Raden Mattaher ialah pasukan bergerak serta menyerbu secara mendadak. Raden Mattaher menyebut pasukannya selaku Sabilillah,” catat Dedi Arman.
Dalam kisahnya saat sebelum pergi menyerbu Belanda, Raden Mattaher lebih dulu lakukan salat. Selanjutnya waktu menantang penjajah Belanda, Raden Mattaher bekerja selaku panglima perang yang bekerja di daerah Muara Tembesi sampai ke Muara Kumpeh.
“Serangan Raden Mattaher diprioritaskan pada kantong-kantong pertahanan militer Belanda. Kecuali lakukan penangkapan pada beberapa kapal perang yang mengusung personil, amunisi, serta beberapa obat,” kata Dedi.
Bahkan juga, tidak main-main, pasukan Raden Mattaher membunuh tiap pimpinan militer Belanda yang ketangkap.
Waktu gerilya bersama-sama dengan Panglima Tungguk Suto Alus, Raden Mattaher sukses merebut peti baja punya Bea Cukai Belanda yang berisi 30 ribu Cap Tongkat, dan beberapa dokumen penting Belanda yang lain di Bayung Lincir, tepian di antara Jambi serta Palembang.
Sesudah perjuangan ini, Raden Mattaher bersama Panglima Ambur Panjang (Raden Pamuk), Panglima Betung Besalai (Raden Seman) serta Tunggul Buto (Raden Perang) menolong pasukannya yang dari Jambi Kecil, Jambi Tulo buat menangkis gempuran lawan di Tarikan ke arah Kumpeh.
Berita kemenangan bermacam perang yang diraih Raden Mattaher sampai ke telinga residen Belanda di Palembang. Faksi penjajahan Belanda benar-benar murka serta geram saat dengar kalahnya itu.
Menurut Dedi Arman, di mata pejabat Belanda, Raden Mattaher ialah orang yang keras kepala, tidak gampang dikalahkan serta seorang pejuang yang lincah serta ditakutkan oleh tentara Belanda.
Sesudah banyak alami kekalahan, Belanda selanjutnya menambahkan serdadu kemampuan dari Batavia. Seluruh wilayah di Jambi digempur mati-matian. Sampai pada akhirnya, Sultan Thaha Saifuddin luruh pada 23 April 1904.
Luruhnya Sultan Thaha Saifuddin pernah memukul psikis Raden Mattaher. Tetapi, selaku panglima perang, Raden Mattaher masih kobarkan semangat perlawanan untuk menyingkirkan penjajahan dari negeri “sepucuk Jambi sembilan lurah” itu.
Kemampuan penjajah Belanda lagi makin bertambah. Banyak wilayah di Jambi saat itu sudah terkuasai Belanda.
Tetapi sayang, beberapa saat selanjutnya, Raden Mattaher bisa dikalahkan oleh Belanda dengan beberapa tipu tipu daya penjajahan.
Untuk akhir kali, Raden Mattaher disuruh berserah. Dalam penangkapan itu, Raden Mattaher sukses dibunuh oleh Belanda. Ia ditembak saat lagi ada di tempat tinggalnya di Muaro Jambi.
Raden Mattaher luruh ditembak di tempat tinggalnya sendiri dalam satu operasi tentara Belanda, pada 10 September 1907.
Berkaitan meninggal dunianya Raden Mattaher, kata Dedi Arman, Belanda mengatakan, “Nadat in September 1907 Raden Mattaher, nau van Taha verwant en de meest gevreesde en actieve der gouverne ments tegenstaders, na en rusteloze achtervolging was gesneuveld. Was het verzet gebroken”.
Surat Belanda itu mempunyai makna “Dalam bulan September tahun 1907 Raden Mattaher, keluarga dekat Taha (Sulthan Thaha Saifudin) yang paling ditakutkan (Belanda) sebab aktif gupermend (Pemerintah Belanda). Sesudah dikejar terus-terusan luruhlah ia (Raden Mattaher) dalam pertempuran dengan pasukan Belanda”.
Dalam masalah ini, kata Dedi Arman, Belanda memakai kalimat was gesneuveld. Kalimat ini wajarnya oleh Belanda disebutkan mati dalam pertarungan.
Sesudah Raden Mattaher luruh di Muaro Jambi, pasukan Belanda mengusung mayat Raden Mattaher untuk dipertontonkan ke publik ramai.
Tetapi, atas keinginan beberapa pemuka agama, Raden Mattaher disemayamkan secara Islam di penyemayaman raja-raja Jambi yang berada di tepian Danau Sipin, Kota Jambi.
“Sesudah Raden Mattaher luruh, perjuangannya dilanjutkan oleh siapa? Hingga saat ini tidak ada jawaban yang tentu. Tetapi yang pasti nilai-nilai serta panutan yang terdapat dalam jiwa kepahlawanan dari Raden Mattaher,” kata Dosen Pengetahuan Riwayat Kampus Jambi, Irhas Penggemaruri.
Presiden Joko Widodo memberikan gelar pahlawan nasional pada enam figur. Diantaranya adalah kakek dari Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.